Filsafat Sejarah Ibn Khaldun Oleh: Mhd. Suradi Ramadhan*

Pendahuluan

Sejarah adalah salah satu khazanah yang tidak boleh dilupakan oleh setiap bangsa, karena perkembangan sebuah bangsa dapat diketahui dari sejarah bangsa tersebut. Sebab itu, tidaklah berlebihan kiranya, kalau Soekarno pernah berucap “janganlah sekali-kali melupakan sejarah (JAS MERAH)”. Setiap bangsa dapat mengukur apa yang telah di capai oleh bangsanya pada masa lalu dengan melihat dan mempelajari sejarah bangsanya.

Begitu pentingnya peran sejarah menandakan bahwa sejarah itu penting untuk diketahui dan di pelajari. Karena, tanpa mengetahui sejarah, seseorang tidak akan dapat memahami kepribadian bangsanya. Misalnya, kita tidak dapat mengetahui dan mengerti bangsa Indonesia pada masa sekarang tanpa mengetahui bagaimana sejarah bangsa Indonesia pada masa lalu.

Ada tiga hal pokok yang menyangkut dengan persoalan sejarah. Yaitu; peristiwa atau pada masa lampau (materi sejarah), kedua deskripsi tentang masa lampau, dan yang ketiga adalah sejarawan. Para sejarawan inilah yang berusaha untuk mengungkapkan sebuah peristiwa sejarah dengan metode-metode yang mereka ketahui. Setiap peristiwa yang terjadi mereka ungkapkan berdasarkan kemampuan dan pengetahuan mereka.

Sejak dahulu, telah banyak pengungkapan-pengungkapan sejarah yang di lakukan oleh sejarawan. Salah seorang yang terkenal adalah Herodotus (484-425 SM) yang terkenal sebagai Bapak Sejarah. Dialah yang meletakkan dasar dari penulisan sejarah. Namun, penulisan sejarah pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada pemberian fakta-fakta yang di ambil dari sumber yang sezaman dan akibatnya tidak bisa di kembangkan oleh orang yang datang belakangan.

Ibn Khaldun, salah seorang sejarawan Muslim yang terkenal, membawa bentuk yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi Ibn Khaldun, sejarah tidak hanya di ungkapkan secara faktual, namun juga dapat di lihat hubungan kausal antara setiap peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus di lihat dari berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya.

Dengan tampilnya Ibn Khaldun sebagai tokoh sejarah yang berbeda dari pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik dari sebagian sejarawan, terutama dari kalangan sejarawan Barat. Karena, dalam anggapan mereka terdapat pertentangan yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis sejarah sebelumnya yang di anggap terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang menggambarkan Ibn Khaldun sebagai pendiri ilmu masyarakat modern lima abad sebelum Auguste Comte dan Emil Durkheim.

Riwayat Hidup Ibn Khaldun

Nama lengkapnya adalah Waliyuddin Ibn Muhammad Abu Zaid Abdurrahman Ibn Khaldun al-Hadrami al-Isbili. Dilahirkan di Tunisia Pada tanggal 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo (Mesir) pada tanggal 27 Maret 1406 M. menurut sebuah Riwayat, nenek moyangnya berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah pertanian yang subur di daerah Jazirah Arab Selatan. Dalam berbagai literatur sejarah, di jelaskan bahwa nenek moyang Ibn Khaldun ikut migrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke 8 M, yang telah di kuasai oleh Arab Muslim. Dan beberapa tahun sebelum kota Seville di rampas oleh raja Ferdinand III dari Leon, nenek moyang Ibn Khaldun memutuskan untuk hijrah ke Ceuta pada tahun 1248 M, dan Kemudian menetap di daerah Tunisia (Afrika Utara).

Mengenai masa kecil Ibn Khaldun, belum ada di temui catatan yang lengkap. Namun, sebagaimana anak-anak yang sebaya dengannya, Ibn Khaldun Kecil juga mendapat pendidikan mempelajari al-Qur’an beserta qira’atnya dan juga mempelajari tata-bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Dalam usia yang relatif muda, Ibn Khaldun telah menguasai berbagai bidang ilmu klasik, seperti ilmu kefilsafatan, metafisika, tasauf. Di samping itu, ia juga tertarik pada ilmu politik, geografi, sejarah, ekonomi, dll.

Disinilah letak kekuatan dan kelemahan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang begitu luas tentang berbagai macam ilmu menjadikannya ibarat sebuah Ensiklopedi. Namun, dalam catatan sejarah ia tidak di kenal sebagai seorang yang menonjol dalam suatu cabang disiplin ilmu tertentu.

Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah di angkat menjadi sekretaris Sultan Abu Inan dari Fez, Maroko. Namun, ia di curigai berkhianat sehingga di jebloskan ke penjara, dan di bebaskan setelah sultan meninggal. Karena selalu dicurigai dan juga suasana kota Fez semakin tidak menentu, maka Ibn Khaldun memutuskan untuk pindah ke Granada (Spanyol) pada 26 Desember 1362. kota ini di pilih Ibn Khaldun, karena hanya inilah satu-satunya daerah yang masih di kuasai oleh Kaum Muslimin. Sementara daerah-daerah yang lain telah jatuh ketangan kaum Kristen.

Namun, karena kondisi Granada yang tidak aman, akhirnya memaksa Ibn Khaldun untuk meninggalkan Granada dan dengan menyebrangi Selat Giblaltar dia kembali ke Afrika Utara. Disana dia di tawari oleh Sultan Buogie (Al-Jazair sekarang) untuk menjadi perdana menteri. Tawaran itu diterimanya tanpa banyak pertimbangan. Namun, setahun kemudian (1366 M) ia pindah ke Konstantinopel dan di angkat menjadi pembantu Raja Abdul Abbas. Namun tak lama kemudian ia pindah lagi ke Biskra, sebelah selatan kota Konstantin, karena penguasa daerah ini tidak lagi mempercayainya.

Akhirnya kehidupan politik yang penuh kericuhan, kecurigaan, pemberontakan, pembunuhan, Penganiayaan dan berbagai macam perbuatan sadis lainnya telah menyebabkan ia mengalami kejenuhan. Dan puncak dari kejenuhannya terjadi pada tahun 1375 M, yang sekaligus menjadi masa-masa yang penting, karena semenjak itu pula Ibn Khaldun memulai kehidupan barunya dalam bidang dunia ilmiah.

Kehidupannya yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan, dengan berpindah-pindah dan banyaknya dinasti tempat dia mengabdi, sangat berpengaruh terhadap tulisan Ibn Khaldun tentang sejarah dinasti-dinasti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “al-‘Ibr wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-A’jam wa al-Barbar”. Dan kitab “al-Muqaddimah” adalah merupakan bahagian dari kita al-‘Ibr yang di tulisnya dalam kurung waktu empat tahun.

Sejarah, Historiografi dan Filsafat Sejarah

Sebelum kita masuk kepada fokus pembahasan tentang filsafat sejarah Ibn Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksud dengan sejarah, historiografi dan filsafat sejarah.

Kata sejarah berasal dari bahasa Arab; Syajaratun yang artinya adalah pohon. Kata ini di serap oleh bahasa Melayu dengan bentuk yang sama (syajarah) diperkirakan pada abad ke-13 M. dan akhirnya kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kajian tentang hal-hal yang telah lampau.

Suryanegara menganalogikan Pohon (yang terdiri dari akar, batang, dahan, ranting, dsb) dengan silsilah ataupun asal-usul manusia. Dengan penganalogian bahwa pohon dan kehidupan manusia sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang pohon yang rindang (besar).

Kata sejarah juga mempunyai kata yang identik sama, yaitu; Tarikh yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penanggalan atau penetapan tanggal. Disamping itu, dalam bahasa daerah juga terdapat kata yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah, seperti kata Babad dan Tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad menunjukkan ciri daerah Jawa. Sedangkan kata tambo menunjukkan unsur Minangkabau.

Sedangkan Lorens Bagus mengemukakan sejarah dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam arti sempit sejarah adalah peristiwa yang dapat di jelaskan dengan sebab-sebab yang efisien. Maksudnya adalah peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam realisasi diri dengan kebebasan dan keputusan daya rohani.

Pada mulanya, sejarah terdapat dalam pikiran para sejarawan, orang yang menghapal sejarah yang selalu di sampaikan dengan metode lisan. Kemudian penulisan sejarah tersebut di pelajari dalam sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografi. Sebuah sejarah (peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografi.

Secara umum, historiografi adalah sebuah studi sistematis tentang sejarah penulisan sejarah (The history of historical writing). Historiografi tidak berhubungan langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan perhatiannya pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan apakah sebuah sejarah yang di sajikan itu valid (benar) atau tidak. Dan juga tidak memberikan penilaian khusus apakah sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang jadi fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan metode sejarah yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah yang di tulisnya.

Berbeda dengan sejarah dan historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh kepada hal-hal yang lebih mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar disini bukan berkaitan dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah sejarah, melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya, benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri.

Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire apada abad ke-18 M. menurutnya filsafat sejarah tidak lebih dari sebuah kritik sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di lakukan oleh para sejarawan . Hegel dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat sejarah adalah makna yang simpel dari kata sejarah.

Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana yang di pergunakan oleh seorang ahli sejarah dalam melukiskan sebuah peristiwa sejarah sehingga dapat di pertanggung jawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejarah yang memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang menjamin supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat di mengerti. Seorang filosuf sejarah mempermasalahkan kaedah-kaedah suatu pedoman yang dipergunakan oleh ahli sejarah sehingga mungkin kaedah-kaedah dan pedoman tersebut tidak dapat di pertahankan dari segi filsafat sehingga harus di singkirkan. Tetapi, jika perbedaan pendapat antara seorang filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah salah.

Walaupun demikian, filsafat sejarah cukup berguna untuk mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan peneliti sejarah untuk mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah pada saat tertentu.

Konsep Manusia Menurut Ibn Khaldun

Menurut Ibn Khaldun, alam semesta ini terdiri dari berbagai tingkatan. Dan setiap tingkatan saling berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Dan perubahan dapat saja terjadi pada suatu tingkatan di sebabkan oleh suatu faktor. Manusia adalah bagian dari alam semesta yang juga mempunyai tingkatan dan selalu mengalami perubahan. Sebagai contoh, sebagai makhluk yang berakal, maka manusia dapat mempergunakan akalnya dan apabila dia dapat menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya serta dapat menekan hawa nafsunya, maka derajatnya bisa meningkat menjadi derajat “malaikat”. Namun begitu pula sebaliknya, manusia bisa saja turun kepada tingkat yang paling hina yang sama dengan hewan apabila akalnya dapat di kalahkan oleh nafsunya.

Ada hal yang paling mendasar apabila kita berbicara tentang manusia. Pertanyaan yang selalu muncul berkaitan dengan manusia itu adalah “siapakah manusia itu?”, “dari mana dia berasal?”, “untuk apa dia di ciptakan?”, dan lain sebagainya. Sepintas lalu, pertanyaan-pertanyaan di atas mudah saja di jawab dengan memperhatikan badan manusia itu sendiri. Namun, jika pertanyaan tadi di dalami, maka kita akan menemui kesulitan yang di sebabkan oleh karena rumitnya persoalan yang di hadapi oleh manusia.

Secara umum orang akan menjawab bahwa manusia itu terdiri atas dua unsur pokok, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani adalah diri manusia yang berasal dari tanah. Sedangkan unsur rohani adalah roh atau jiwa yang di dalamnya terkandung pikir, rasa, dan lain sebagainya. Gabungan dari kedua unsur tersebutlah yang menjadi manusia yang di sebut sebagai makhluk yang berakal (hayawan al-nathiq).
Namun, yang menjadi pokok permasalahan disini adalah bagaimana persepsi Ibn Khaldun tentang manusia?.

Ibn Khaldun mengakui unsur rohani yang terdapat dalam diri manusia. Namun, menurutnya pengetahuan manusia tentang alam rohani hanya bersifat umum, bukan terperinci. Karena alam rohani adalah di luar jangkauan manusia. Kalaupun manusia ingin mencari tahu tentang alam rohani, hasilnya juga tidak akan pernah memuaskannya.

Menurut Ibn Khaldun, manusia hidup dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan di alam rohani. Kehidupan manusia dari lahir hingga akhir hidupnya adalah untuk mencari bekal bagi kebahagiaan rohani di kehidupannya kelak. Tugas dan perbuatan manusia di muka bumi ini sejalan dengan amanah Allah swt. bahwa manusia hidup di muka bumi ini adalah sebagai khalifah yang di tugasi untuk mengurus dan mengolah alam semesta ini berdasarkan pertimbangan akal manusia dan aturan yang telah di gariskan oleh Allah swt. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, maka manusia secara otomatis menjadi pelaku dari sejarah.

Sebagai pelaku sejarah, menurut Ibn Khaldun, manusia dalam setiap perbuatannya di dorong oleh berbagai sifat yang sekaligus menggambarkan kepribadian manusia itu sendiri. Selain faktor pembawaan, manusia juga di pengaruhi oleh faktor lingkungannya. Malah, terkadang faktor lingkungan dan tempat dimana dia hidup lah yang lebih dominan dari pada faktor pembawaan. Hal inilah yang secara dominan mempengaruhi manusia sebagai subjek/pelaku dari sejarah.

Selain menjadi hamba Allah, manusia juga secara alamiah di ciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup tentu saja bermasyarakat, dalam masyarakat itu tercakuplah permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya yang di sebut dengan peradaban. Sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial dapat kita lihat dari kelemahan manusia yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Hal inilah yang menjadikan fitrah manusia itu sebagai makhluk sosial dan membutuhkan organisasi.

Setelah sebuah organisasi dalam masyarakat telah terbentuk (ada). Maka hal yang selanjutnya dibutuhkan adalah seorang pemimpin yang berwibawa yang dapat mengatur anggota kelompoknya, mendamaikan perselisihan dan yang lainnya. Dalam hal ini, menurut Ibn Khaldun, kewibawaan itu sudah menjadi watak manusia yang sangat di perlukan.

Secara garis besarnya, menurut Ibn Khaldun, manusia sebagai pelaku (subjek) sejarah dimuka bumi ini mempunyai tugas ganda yang penting. Yaitu sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya dan juga sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan manusia yang lainnya.

Faktor Penggerak Sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Secara umum, penggerak sejarah dapat di pahami dengan hal-hal yang mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami sebagai segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa. Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi penyebab sejarah. Dalam kenyataannya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di lupakan oleh manusia, karena terlalu abstrak untuk di bayangkan.

Pertanyaan yang langsung muncul di benak kita adalah siapa atau apa faktor penggerak sejarah tersebut?.

Mengenai faktor penggerak sejarah ini, Ibn Khaldun membaginya menjadi dua faktor. yaitu faktor Ilahi (asbab al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi’i). Adapun yang terkait dengan faktor Ilahi adalah wahyu dan Tuhan (Allah). Sedangkan yang termasuk kedalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya, institusi, teknologi, ideologi, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun, sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semuanya akhirnya berujung kepada kedua faktor di atas.

Dalam perjalanan sejarah, dapat kita lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak terlepas dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya perjalanan sejarah itu tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan kedua faktor tersebut.

Selain kedua faktor tersebut, menurut Ibn Khaldun, solidaritas (ashabiyah) juga berperan penting dalam menggerakkan sejarah. Istilah ashabiyah dapat di artikan dengan rasa memiliki kesamaan harga diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu keluarga, kelompok/organisasi, maupun suku.

Pada mulanya ashabiyah di temukan pada orang-orang yang di hubungkan oleh pertalian se-darah atau pertalian lainnya yang mempunyai arti sama. Pemikiran Ibn Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa pertalian darah itu mempunyai kekuatan yang mengikat pada kebanyakan umat manusia. Ikatan darah itu membuat orang mempunyai solidaritas dalam kelompoknya. Menurut kodratnya, apabila seorang anggota kelompok mengalami sakit/gangguan maka anggota yang lain akan ikut merasakan dan membela mati-matian anggota kelompoknya yang di ganggu.

Dalam perkembangan selanjutnya konsep ashabiyah itu bisa berubah menjadi pertalian yang berbagai macam. Seperti pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan, se-partai, dll. Malah kadangkala pertalian se-kepentingan bisa mengalahkan pertalian darah sebagaimana yang kita lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik.
Karena itu, menurut Ibn Khaldun, pertalian sedarah bukanlah satu satunya penyebab solidaritas, tetapi bisa saja faktor lain yang membentuknya. Malah kadangkala solidaritas se-darah dapat di kalahkan oleh solidaritas yang lainnya, seperti faktor se-kepentingan.

Walaupun demikian, jika kita teliti lebih dalam, faktor ashabiyah ini sebenarnya termasuk kedalam kategori faktor alami dari penggerak sejarah.

Kesimpulan

Secara singkat, inti dari pemikiran filsafat sejarah Ibn Khaldun adalah sebagai berikut:

1. Manusia hidup di dunia ini mempunyai tugas ganda yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai makhluk sosial yang di serahi tugas sebagai khalifah untuk mengelola dan mengatur alam ini demi kesejahteraan manusia itu sendiri yang sekaligus merupakan unsur budaya dari manusia itu sendiri. Semakin cepat perubahan yang di lakukan oleh manusia, maka semakin cepat pula cara berfikir manusia tersebut.

2. Setiap tindakan manusia (sebagai khalifah) adalah untuk tujuan mengabdi kepada Allah, dan hal itu adalah tujuan dari sejarah. Dalam proses pencapaian tujuan tersebut, manusia mengalami berbagai problem dan lika-liku hidup. Ada manusia yang di timpa bencana, kesusahan dan ada pula yang di beri nikmat dan selalu berkecukupan. Semua itu adalah peristiwa yang menandai perjalanan sejarah untuk mencapai tujuannya.

3. Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn Khaldun, adalah di sebabkan oleh adanya penggerak sejarah. Menurutnya penggerak sejarah itu adalah faktor Ilahi dan faktor alami. Faktor Ilahi adalah Tuhan. Dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam agama ardhi dan agama primitif, faktor Ilahi itu adalah dewa-dewa. Adapun penggerak sejarah dari faktor alami adalah, antara lain, politik, ekonomi, sosial, budaya, solidaritas sosial dan lain sebagainya

4. Sedangkan perjalanan gerak sejarah, dalam pandangan Ibn Khaldun, lebih mengambil pola siklis. Hal ini berdasarkan pengamatan Ibn Khaldun setelah melihat jatuh bangunnya sebuah dinasti (pemerintahan). Dan memang, setiap dinasti (baik di dunia Islam maupun di dunia Barat) sebuah dinasti berproses dari tumbuh, berkembang, masa kejayaan, masa kemunduran, dan masa kehancuran. Namun, di balik kehancuran sebuah dinasti telah terdapat sebuah dinasti baru yang akan menggantikannya. Sebagai seorang muslim, Ibn Khaldun tetap mengakui “campur tangan” Tuhan (Allah) dalam gerak sejarah. Dan bagaimanapun, perjalanan sejarah di gerakkan oleh faktor Ilahi dan faktor alami.

DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996
Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas. 1986
Ibn Khaldun. Muqaddimah (terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986
Ma’arif, Syafi’i. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press. 1996
Suryanegara. Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995

—————————-
*) Penulis adalah Kader IMM Bumi Lancang Kuning

Tinggalkan komentar